FAROID
AN-NISA’ AYAT 11-13
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir
Dosen Pengampu : DR. KH. Fadlolan Musyafa’, Lc., MA.
Disusun Oleh :
Fuadah (1401016035)
Nudiya Anburika (1401016062)
Wahid Suyeni (1401016055)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
Manusia
dalam perjalanan hidup akan mengalami tiga dekade atau peristiwa yang paling
penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu menikah, dan waktu meningga. Pada saat
seorang manusia dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya
terdapat sebuah keluarga. Demikian dalam pengertian sosiologis akan menjadikan
pengemban dari hak dan kewajiban. Kemudian setelah ia dewasa akan melakukan
perkawinan yaitu ketika ia telah bertemu dengan dambaan hati yang akan menjadi
kawan hidupnya untuk membangun dan menunaikan darma baktinya yaitu berlangsungnya
sebuah keturunannya.
Kemudian
manusia pada suatu saat akan meninggal dunia. Peristiwa tersebut merupakan
peristiwa yang sangat penting, sebab hal tersebut diliputi dengan suasana yang
sangat penuh dengan kerahasiaan dan menimbulkan rasa sedih. Kesedihan yang
meliputi seluruh keluarga yang ditinggalkannya dan duka teman-teman semenjak
masa hidupnya. Dimasa yang seperti itulah maka timbul sebuah permasalah setelah
seorang meninggal dunia yang didalamnya terdapat harta yang telah ditinggalkan
bagaimana hukumnya dan apakan orang yang sudah meninggal dapat melakukan
peralihan (perbuatan hukum) wasiat yang dilakukan oleh orang sudah dekat
ajalnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
pengertian faroid ?
B.
Bagaimana
tafsiran surat an-nisa’ ayat 11-13 tentang faroid ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian faroid
kata fara'id (الفرائض) menurut bahasa
merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة).
Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض)
yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan
sebagai al-mafrudah(المفروضة) yang berarti
al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian yang
telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan
demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu
fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris
yang bagiannya sudah ditentukan.
Sedangkan menurut terminology waris adalah aturan tentang
perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara’idh yang
artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang
berhak menerimanya.
zSedangkan menurut Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani,
makna fara’idh adalah bentuk jamak dari ‘faridhah’, sedangkan
makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang telah
dipastikan. Al-faraidh, menurut istilah bahasa adalah ‘kepastian’,
sedangkan menurut istilah syara’ artinya bagian-bagian yang telah dipastikan
untuk ahli waris.[1]
B.
Tafsiran surat an-nisa’ ayat 11-13 tentang faroid
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ
وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي
بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ
نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١)
Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dating
firman Tuhan :”Allah mewajibkan kamu terhadap anak-anak kamu.” (pangkal
ayat 11). Dalam ayat permulaan peraturan tirkah (harta peninggalan) ini
jelas, bahwa yang pertama kali dijelaskan ialah tentang bagian wajib yang
diterima oleh anak. Yang memikul kewajiban ini ialah kamu, yaitu
tiap-tiap orang yang mengaku dirinya beriman dan Islam. Oleh karena kata yang
dipakai ialah kamu, jelaslah bahwa pembagian waris itu di bawah pengawasan
masyarakat yang ada di sekelilingnya. Dan kalau perlu Kekuasaan Negara.Ahli
waris itu banyak, diantaranya : anak, ibu, bapak, saudara, istri, menurut
garisnya yang telah ditentukan.[2]
Tafsiran
menurut ayat diatas adalah bagian anak laki-laki ialah dua kali bagian anak
perempuan. Kemudian datang ketentuan seterusnya: “jika perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari yang ditinggalkan.” Tadi telah
diterangkan, kalau anak-anak yang ditinggalkan itu terdiri atas laki-laki dan
perempuan, maka laki-laki mendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh
perempuan. Misalnya anak yang ditinggalkan itu 2 orang laki-laki dan 3 orang
perempuan, niscaya harta penimggalan itu dibagi tujuh; menjadi 2 kali 2 dan 3
kali satu. Demikian seterusnya. Tetapi kalau anak-anak itu perempuan semuanya
dan bilangan mereka dua atau lebih, maka untuk merekalah dikeluarkan terlebih
dahulu, banyaknya duapertiga dari seluruh harta peninggalan itu. Yang
selebihnya (sepertiga) dibagilah untuk ahli waris yang lain, menurut yang
ditentukan syara’. Maka yang dikerjakan terlebih dahulu, ialah mengeluarkan
bagian yang duapertiga untuk perempuan yang dua orang atau lebih itu, supaya
dibanginya samarata.
“Jika hanya seorang (anak perempuan), maka untuknya separuh.” Dengan dasar keterangan ini dapatlah dipahamkan, bahwa jika
seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki saja, tidak ada saudaranya
yang lain, maka seluruh harta peninggalan itu jatuhlah kepadanya semua. Seorang
anak perempuan saja, yang mendapat separuh harta itu, maka sisa yang separuh
lagi dibagikan pulalah kepada ahli waris yang lain menurut syara’.[3]
Kemudian
Allah SWT menerangkan pula tentang hak kedua orang tua. Apabila seorang
meninggal dunia dan ia meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan, maka
masing-masing orang tua yaitu ibu dan bapak mendapat 1/6 dari jumlah harta.
Sebaliknya apabila ia tidak meninggalkan anak, maka ibu mendapat 1/3 dari
jumlah harta dan sisanya diberikan kepada bapak Apabila yang meninggal itu
selain meninggalkan ibu-bapak ada pula saudara-saudaranya yang lain, laki-laki
atau perempuan yaitu dua ke atas menurut Jumhur maka ibu mendapat 1/6 dan bapak
mendapat sisanya.
Di dalam
ayat tersebut juga dijelaskan bahwa utang harus dilunasi sebelum pelaksanaan
wasiat dan pembagian waris. Juga bahwasannya tidak ada wasiat ataupun pembagian
warisan sebelum pelunasan utang.[4]
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ
فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ
كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ
أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ
فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى
بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (١٢
Artinya :“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris) [274]. (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun”.
Tafsiran dari ayat tersebut adalah perincian pembagian hak waris
untuk suami atau istri yang ditinggal mati. Suami yang mati istrinya jika tidak
ada anak maka ia mendapat 1/2 dari harta, tetapi bila ada anak, ia mendapat 1/4
dari harta warisan.. ini juga baru diberikan setelah lebih dahulu diselesaikan
wasiat atau hutang almarhum. Adapun istri apabila mati suaminya dan tidak
meninggalkan anak maka ia mendapat 1/4 dari harta, tetapi bila ada anak, istri
mendapat 1/8. Lalu diingatkan Allah bahwa hak tersebut baru diberikan setelah
menyelesaikan urusan wasiat dan hutangnya. Kemudian Allah menjelaskan lagi
bahwa apabila seseorang meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan bapak
maupun anak, tapi hanya meninggalkan saudara laki-laki atau wanita yang seibu
Saja maka masing-masing saudara seibu itu apabila seorang diri bagiannya adalah
1/6 dari harta warisan dan apabila lebih dari seorang, mereka mendapat 1/3 dan
kemudian dibagi rata di antara mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan wanita. Allah menerangkan juga bahwa ini dilaksanakan setelah
menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan wasiat dan hutang almarhum. Allah
memperingatkan agar wasiat itu hendaklah tidak memberi mudarat kepada ahli
waris. Umpama seorang berwasiat semata-mata agar harta warisannya berkurang
atau berwasiat lebih dari 1/3 hartanya. Ini semua memberi kerugian bagi para
ahli waris.
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ
وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya :” Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’ : 13).
Sedangkan tafsiran ayat 13 adalah tentang semua ini merupakan
ketentuan dari Allah SWT yang harus dilaksanakan oleh orang yang bertakwa
kepada-Nya. Allah Maha Mengetahui apa yang lebih bermanfaat untuk manusia dan
Maha Penyantun. Dia tidak segera memberi hukuman kepada hamba-Nya yang tidak
taat agar ada kesempatan baginya untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang
diridai Nya. Allah menjelaskan pula bahwa barang siapa yang taat melaksanakan
apa yang disyariatkan Nya dan menjauhi apa yang dilarang Nya, kepada mereka
akan diberikan kebahagiaan hidup di akhirat berupa surga yang penuh dengan
kenikmatan dan mereka akan kekal di dalamnya selamanya. Itulah suatu kesenangan
yang tiada taranya bagi manusia yang mengerti.[5]
IV.
KESIMPULAN
Faraidh dimaksudkan menjelaskan tentang
perpindahan hak waris dari orang yang sudah meninggal atau membahas bagian para
ahli waris. Dalam ayat permulaan peraturan tirkah (harta peninggalan)
menjelaskan juga tentang bagian wajib yang diterima oleh anak, kemudian waris
untuk istri yang di tinggal dan para keluarga. Sebelum harta warisan di
berikan, terlebih dahulu harus menyelesaikan permasalahan utang dari orang yang
meninggal dan memberi waris tersebut. Bagian-bagian yang dijelaskan dalam
faraidh karna agar jelas wasiatnya. Allah memperingatkan agar wasiat itu
hendaklah tidak memberi madharat kepada ahli waris.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan tentang Faroid. Kritik dan saran kami tunggu untuk perbaikan
makalah yang akan datang. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farran, Syaikh Ahmad Musthafa, Tafsir
Imam Syafi’I Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an jilid 2. Jakarta:
Almahira. 2007.
Amrullah, Abdulmalik
Abdulkarim. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1981.
Saebani , Beni
Ahmad. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Sayyid Quthb. Tafsir
Fi Zhilalil Quran. Jakarta : Gema Insani. 2000.
[1] Drs. Beni
Ahmad Saebani, M. Si., Fiqh Mawaris,Bandung: Pustaka Setia, 2009, hal:
13-14.
[2] Prof. DR. H.
Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1981, hal: 314.
[3]
Prof. DR. H.
Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1981, hal: 317-318.
[4] Syaikh Ahmad
Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I Menyelami Kedalaman Kandungan
Al-Qur’an jilid 2, Jakarta: Almahira, 2007, hal: 41.
[5] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar