Kamis, 01 Juni 2017

MAKALAH TAFSIR TENTANG FARAIDH



FAROID
AN-NISA’ AYAT 11-13
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tafsir
Dosen Pengampu : DR. KH. Fadlolan Musyafa’, Lc., MA.


Disusun Oleh :
Fuadah                                    (1401016035)
Nudiya Anburika        (1401016062)
Wahid Suyeni             (1401016055)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
       I.            PENDAHULUAN
Manusia dalam perjalanan hidup akan mengalami tiga dekade atau peristiwa yang paling penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu menikah, dan waktu meningga. Pada saat seorang manusia dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya terdapat sebuah keluarga. Demikian dalam pengertian sosiologis akan menjadikan pengemban dari hak dan kewajiban. Kemudian setelah ia dewasa akan melakukan perkawinan yaitu ketika ia telah bertemu dengan dambaan hati yang akan menjadi kawan hidupnya untuk membangun dan menunaikan darma baktinya yaitu berlangsungnya sebuah keturunannya.
Kemudian manusia pada suatu saat akan meninggal dunia. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting, sebab hal tersebut diliputi dengan suasana yang sangat penuh dengan kerahasiaan dan menimbulkan rasa sedih. Kesedihan yang meliputi seluruh keluarga yang ditinggalkannya dan duka teman-teman semenjak masa hidupnya. Dimasa yang seperti itulah maka timbul sebuah permasalah setelah seorang meninggal dunia yang didalamnya terdapat harta yang telah ditinggalkan bagaimana hukumnya dan apakan orang yang sudah meninggal dapat melakukan peralihan (perbuatan hukum) wasiat yang dilakukan oleh orang sudah dekat ajalnya.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian faroid ?
B.     Bagaimana tafsiran surat an-nisa’ ayat 11-13 tentang faroid ?








 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian faroid
kata fara'id (الفرائض) menurut bahasa merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة). Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض) yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai al-mafrudah(المفروضة) yang berarti al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.
Sedangkan menurut terminology waris adalah aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara’idh yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
zSedangkan menurut Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, makna fara’idh adalah bentuk jamak dari ‘faridhah’, sedangkan makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang telah dipastikan. Al-faraidh, menurut istilah bahasa adalah ‘kepastian’, sedangkan menurut istilah syara’ artinya bagian-bagian yang telah dipastikan untuk ahli waris.[1]

B.     Tafsiran surat an-nisa’ ayat 11-13 tentang faroid
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١)
Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dating firman Tuhan :”Allah mewajibkan kamu terhadap anak-anak kamu.” (pangkal ayat 11). Dalam ayat permulaan peraturan tirkah (harta peninggalan) ini jelas, bahwa yang pertama kali dijelaskan ialah tentang bagian wajib yang diterima oleh anak. Yang memikul kewajiban ini ialah kamu, yaitu tiap-tiap orang yang mengaku dirinya beriman dan Islam. Oleh karena kata yang dipakai ialah kamu, jelaslah bahwa pembagian waris itu di bawah pengawasan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Dan kalau perlu Kekuasaan Negara.Ahli waris itu banyak, diantaranya : anak, ibu, bapak, saudara, istri, menurut garisnya yang telah ditentukan.[2]
Tafsiran menurut ayat diatas adalah bagian anak laki-laki ialah dua kali bagian anak perempuan. Kemudian datang ketentuan seterusnya: “jika perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari yang ditinggalkan.” Tadi telah diterangkan, kalau anak-anak yang ditinggalkan itu terdiri atas laki-laki dan perempuan, maka laki-laki mendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh perempuan. Misalnya anak yang ditinggalkan itu 2 orang laki-laki dan 3 orang perempuan, niscaya harta penimggalan itu dibagi tujuh; menjadi 2 kali 2 dan 3 kali satu. Demikian seterusnya. Tetapi kalau anak-anak itu perempuan semuanya dan bilangan mereka dua atau lebih, maka untuk merekalah dikeluarkan terlebih dahulu, banyaknya duapertiga dari seluruh harta peninggalan itu. Yang selebihnya (sepertiga) dibagilah untuk ahli waris yang lain, menurut yang ditentukan syara’. Maka yang dikerjakan terlebih dahulu, ialah mengeluarkan bagian yang duapertiga untuk perempuan yang dua orang atau lebih itu, supaya dibanginya samarata.
“Jika hanya seorang (anak perempuan), maka untuknya separuh.” Dengan dasar keterangan ini dapatlah dipahamkan, bahwa jika seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki saja, tidak ada saudaranya yang lain, maka seluruh harta peninggalan itu jatuhlah kepadanya semua. Seorang anak perempuan saja, yang mendapat separuh harta itu, maka sisa yang separuh lagi dibagikan pulalah kepada ahli waris yang lain menurut syara’.[3]
Kemudian Allah SWT menerangkan pula tentang hak kedua orang tua. Apabila seorang meninggal dunia dan ia meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan, maka masing-masing orang tua yaitu ibu dan bapak mendapat 1/6 dari jumlah harta. Sebaliknya apabila ia tidak meninggalkan anak, maka ibu mendapat 1/3 dari jumlah harta dan sisanya diberikan kepada bapak Apabila yang meninggal itu selain meninggalkan ibu-bapak ada pula saudara-saudaranya yang lain, laki-laki atau perempuan yaitu dua ke atas menurut Jumhur maka ibu mendapat 1/6 dan bapak mendapat sisanya.
Di dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa utang harus dilunasi sebelum pelaksanaan wasiat dan pembagian waris. Juga bahwasannya tidak ada wasiat ataupun pembagian warisan sebelum pelunasan utang.[4]

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ
 الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
 تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ
 وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ
 أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ
 فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ
 وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ  (١٢
Artinya :“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) [274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Tafsiran dari ayat tersebut adalah perincian pembagian hak waris untuk suami atau istri yang ditinggal mati. Suami yang mati istrinya jika tidak ada anak maka ia mendapat 1/2 dari harta, tetapi bila ada anak, ia mendapat 1/4 dari harta warisan.. ini juga baru diberikan setelah lebih dahulu diselesaikan wasiat atau hutang almarhum. Adapun istri apabila mati suaminya dan tidak meninggalkan anak maka ia mendapat 1/4 dari harta, tetapi bila ada anak, istri mendapat 1/8. Lalu diingatkan Allah bahwa hak tersebut baru diberikan setelah menyelesaikan urusan wasiat dan hutangnya. Kemudian Allah menjelaskan lagi bahwa apabila seseorang meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan bapak maupun anak, tapi hanya meninggalkan saudara laki-laki atau wanita yang seibu Saja maka masing-masing saudara seibu itu apabila seorang diri bagiannya adalah 1/6 dari harta warisan dan apabila lebih dari seorang, mereka mendapat 1/3 dan kemudian dibagi rata di antara mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Allah menerangkan juga bahwa ini dilaksanakan setelah menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan wasiat dan hutang almarhum. Allah memperingatkan agar wasiat itu hendaklah tidak memberi mudarat kepada ahli waris. Umpama seorang berwasiat semata-mata agar harta warisannya berkurang atau berwasiat lebih dari 1/3 hartanya. Ini semua memberi kerugian bagi para ahli waris.
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya :” Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’ : 13).
Sedangkan tafsiran ayat 13 adalah tentang semua ini merupakan ketentuan dari Allah SWT yang harus dilaksanakan oleh orang yang bertakwa kepada-Nya. Allah Maha Mengetahui apa yang lebih bermanfaat untuk manusia dan Maha Penyantun. Dia tidak segera memberi hukuman kepada hamba-Nya yang tidak taat agar ada kesempatan baginya untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang diridai Nya. Allah menjelaskan pula bahwa barang siapa yang taat melaksanakan apa yang disyariatkan Nya dan menjauhi apa yang dilarang Nya, kepada mereka akan diberikan kebahagiaan hidup di akhirat berupa surga yang penuh dengan kenikmatan dan mereka akan kekal di dalamnya selamanya. Itulah suatu kesenangan yang tiada taranya bagi manusia yang mengerti.[5]

 IV.            KESIMPULAN
Faraidh dimaksudkan menjelaskan tentang perpindahan hak waris dari orang yang sudah meninggal atau membahas bagian para ahli waris. Dalam ayat permulaan peraturan tirkah (harta peninggalan) menjelaskan juga tentang bagian wajib yang diterima oleh anak, kemudian waris untuk istri yang di tinggal dan para keluarga. Sebelum harta warisan di berikan, terlebih dahulu harus menyelesaikan permasalahan utang dari orang yang meninggal dan memberi waris tersebut. Bagian-bagian yang dijelaskan dalam faraidh karna agar jelas wasiatnya. Allah memperingatkan agar wasiat itu hendaklah tidak memberi madharat kepada ahli waris.


    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan tentang Faroid. Kritik dan saran kami tunggu untuk perbaikan makalah yang akan datang. Semoga bermanfaat.































DAFTAR PUSTAKA
Al-Farran, Syaikh Ahmad Musthafa, Tafsir Imam Syafi’I Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an jilid 2. Jakarta: Almahira. 2007.
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1981.
Saebani , Beni Ahmad. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Quran. Jakarta : Gema Insani. 2000.


[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si., Fiqh Mawaris,Bandung: Pustaka Setia, 2009, hal: 13-14.
[2] Prof. DR. H. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981, hal: 314.
[3] Prof. DR. H. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981, hal: 317-318.
[4] Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an jilid 2, Jakarta: Almahira, 2007, hal: 41.
[5] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar